Assalammu'alaikum Wr Wb Selamat Datang dan Selamat Membaca Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain

Senin, 24 September 2012

Ironi ...

Nak
by : Iwan Fals



Jauh jalan yang harus kau tempuh


Mungkin samar bahkan mungkin gelap


Tajam kerikil setiap saat menunggu


Engkau lewat dengan kaki yang tak bersepatu



Duduk sini Nak dekat pada bapak


Jangan kau ganggu ibumu


Turunlah lekas dari pangkuannya



Engkau lelaki kelak sendiri



Nak dengarlah bicara bapakmu


Yang kenyang akan hidup terang dan redup


Letakkan dahulu mainan itu


Duduk dekat bapak sabar mendengar


Kau anak harapanku yang lahir di jaman gersang


Segala sesuatu hanya ada karena uang


Ya … ya … ya … ya …


Kau anak dambaanku yang besar di kancah perang


Kau harus kuat yakin pasti menang


Sekolah biasa saja jangan pintar-pintar percuma


Latihlah bibirmu agar pandai berkicau


Sebab mereka sangat perlu kicau yang merdu


Sekolah buatmu hanya perlu untuk titel


Pedulu titel didapat atau titel mu’jizat


Ya … ya … ya … ya …


Sekolah buatmu hanya perlu untuk gengsi


Agar mudah bergaul tentu banyak relasi


Jadi penjilat yang paling tepat


Karirmu cepat uang tentu dapat


Jadilah Dorna jangan jadi Bima


Sebab seorang Dorna punya lidah sejuta


O . . . . o . . . . o . . . . . o . . . .


Hidup sudah susah jangan dibikin susah


Cari saja senang walau banyak hutang


Munafik sedikit jangan terlalu jujur


Sebab orang jujur hanya ada di komik


Pilihlah jalan yang mulus tak banyak batu


Sebab batu-batu bikin jalanmu terhambat


Ya … ya … ya … ya …


Pilihlah jalan yang bagus tak ada paku


Sebab paku itu sakit apalagi yang berkarat



Jadilah kancil jangan buaya


Sebab seekor kancil sadar akan bahaya


Jadilah bandit berkedok jagoan


Agar semua sangka engkau seorang pahlawan


Jadilah bunglon jangan sapi


Sebab seekor bunglon pandai baca situasi


Jadilah karet jangan besi


Sebab yang namanya karet tahan kondisi


Anakku aku nyanyikan lagu


Waktu ayah tak tahan lagi menahan murka





»»  Baca Selengkapnya...

Cermin Pendidikan Indonesia

Pendidikan sebagai Pangkal Masalah Bangsa? Tak kunjung usainya berbagai masalah moralitas di Indonesia sejatinya berpangkal pada pendidikan. Faktor kesadaran berkendara penyebab kecelakaan saat mudik lebaran 2012 misalnya. Tidak adanya kesadaran pengendara jalan yang mematuhi peraturan lalu lintas menjadi penyebab utama. Adanya kesadaran untuk berkendara dengan baik mestinya menjadi hal yang ditanamkan pendidikan. Asumsinya, seseorang yang terdidik mestinya tidak akan melanggar peraturan lalu lintas. Lalu, apa hasil pendidikan selama ini? Pendidikan sekarang telah menjadi bagian dari masalah yang begitu runyam. Pendidikan yang seharusnya menjadi solusi untuk permasalahan bangsa, justru turut andil menambah rentetan masalah bangsa ini. Bagaimana tidak? Perhatikan saja anak didik sekolah sekarang. Pernahkah Anda mendengar mereka berkata kotor atau tindakan tak wajar seperti bullying sampai tindak aniaya lainnnya? [1] Dimana mereka belajar berkata-kata seperti itu? Atau, perilaku curang, tidak jujur, mencontek, dimana mereka mendapatkannya? Sebagian besar jawabannya adalah sekolah!
Sekolah telah menjadi sebuah institusi pendidikan yang bias arahnya. Di samping insfrasruktur yang tak layak pakai[2], sekolah juga tidak mendapat cukup pengajar. Inftrastruktur yang tak layak pakai disebabkan biaya pendidikan yang tinggi. Sedangkan ketidakcukupan ini sejatinya bukan karena jumlah pengajar yang kurang, melainkan distribusi yang tidak merata di daerah-daerah[3]. Itupun jika kualitas pendidiknya bagus, jika tidak? Di samping itu, masalah pendidikan menjadi semakin runyam dengan integritas pelaku pendidik yang tidak kuat. Budaya nitip anak masih terjadi. Kejadian nonpresedural sehingga seorang peserta didik yang tidak memenuhi syarat bisa masuk lazim terjadi. Jika dirunut, ini semua berpangkal pada keterdidikan yang tidak benar namun membudaya. Sehingga, jangan heran bila sejak dini siswa sudah terbiasa mencontek. Bisa jadi itu adalah karma. Pendidikan Adalah Sarana Penumbuh Bukan Pembunuh Potensi Pendidikan formal yang sampai sekarang ada terbukti belum mampu memberikan pencerahan pada bangsa ini. Amanat UUD 1945 untuk kecerdasan bangsa belum tercapai. Alih-alih tercapai mendekat saja belum pasti. Mundur? Mungkin. Kemajuan pendidikan formal yang dinilai dengan terbentuknya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) belum mampu menunjukkan hasilnya. Jangankan hasil, yang terjadi malah pemaksaan sistem. Sistem belum lengkap, guru belum siap, masyarakat juga masih sanksi. Opini yang beredar sekarang justru sebutan SBI sebagai Sekolah Bertarif Internasional dikarenakan mahalnya biaya. Hikmah yang bisa kita ambil dari pelajaran di atas bahwa kemajuan tidak selalu dinilai dengan standar internasional ansich, namun harus dinilai secara menyeluruh. Kemajuan harusnya dinilai bukan dari besar bangunan dan titel mentereng institusi, melainkan dinilai dari hasil peserta didik. Peserta didik yang berhasil adalah mereka yang benar-benar mampu mengembangkan potensinya secara optimal sehingga produktif. Produktif di sini memiliki makna mampu menghasilkan sesuatu untuk kehidupan baik untuk diri sendiri, terlebih untuk orang lain. Sehingga keberhasilan hakiki dari seorang peseta didik adalah pada kebermanfaatan dirinya untuk orang lain. Sayangnya pendidikan saat ini tidak mengarah pada pengembangan potensi. Pendidikan cenderung menyunat potensi peserta didik. Bagaimana tidak? Coba perhatikan pelajaran yang didapatkan mulai dari SD sebagai basis penanaman ilmu. Ada mata ajar primer yang biasanya menjadi momok bagi peserta didik seperti Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Peserta didik yang menguasai pelajar tersebut cenderung dianggap pintar, sedangkan yang lain tidak. Begitu pula di SMP ketika IPA dibagi menjadi Fisika, Kimia, dan Biologi. Mereka yang ngelontok pada mata ajar tersebut cenderung dianggap lebih cerdas dibandingkan dengan mereka yang sukses di mata ajar Sejarah, Ekonomi, atau Geografi. Saat SMA pun begitu. Ketika penjurusan di tingkat kedua, jurusan IPA relatif lebih populer. Namun, apakah kecenderungan tersebut menjamin keberhasilan peserta didik ke depannya? Sama sekali tidak! Masalah utama dari ketidakberhasilan tersebut karena pendikotomian dan pengerdilan potensi peserta didik. Bicara masalah potensi, semua manusia dilahirkan dengan potensi yang relatif sama. Selama masa pertumbuhan, kecenderungan potensial tiap manusia pasti ada. Dan potensi manusia sejatinya tidak terhingga dan beragam jenis. Pandai menyanyi, berbicara cepat, aktif bergerak, gemar menggambar, berpikir analitis, itu semua adalah potensi. Mata ajar yang kurang popular di sekolah pun sejatinya adalah sarana pengembangan potensi. Pengotakan pada mata ajar tertentu hanya akan menjemukan peserta didik dan mematikan potensi mereka. Potensi harus ditumbuhkan. Penumbuhan potensi harus didukung dengan pemeliharaan karakter dasar. Dan lingkungan begitu besar berperan dalam hal ini. Seorang peserta didik akan merasa nyaman ketika lingkungan sekitar mendukung perkembangan potensi dirinya. Dia bebas melakukan apa pun yang dia suka. Tinggal diarahkan bagaimana kesukaan itu menjadi hal yang produktif. Sehingga kebutuhan untuk menyediakan lingkungan yang mendukung begitu besar. Dan sekolah harus menjawabnya. Ketika sekolah dituntut menjadi sarana pengembangan potensi tidak mampu menjawabnya maka dibutuhkan alternatif sarana pendidikan lain yang bisa menjawabnya. Sumber : [1] http://storify.com/ferdikom98/bullying-fisik-kriminil-di-don-bosco-pondok-indah [2] http://www.lensaindonesia.com/2011/08/20/dua-ribu-sekolah-di-bojonegoro-tak-layak-pakai.html [3] http://regional.kompas.com/read/2011/11/24/11254514/Jumlah.Guru.Cukup.Distribusinya.Payah.
»»  Baca Selengkapnya...

Jangan Mengeluh, Sahabatku ...

Hidup yang bernilai itu bukanlah hidup kaya, bukan hidup untuk dihormati, juga bukan hidup yang lama, tapi sebuah hidup untuk menjadi "Orang yang bernilai" dan hidup yang membuat orang lain jadi "bernilai" juga
»»  Baca Selengkapnya...

Sabtu, 22 September 2012

Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia adalah bahasa kerja (working language).
Dari sudut pandang linguistika, bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19, namun mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan di awal abad ke-20. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Meskipun saat ini dipahami oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa Indonesia tidak menduduki posisi sebagai bahasa ibu bagi mayoritas penduduknya. Sebagian besar warga Indonesia berbahasa daerah sebagai bahasa ibu. Penutur bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Namun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di surat kabar, media elektronika, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Fonologi dan tata bahasa bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Kerajaan Sriwijaya (dari abad ke-7 Masehi) memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuno) sebagai bahasa kenegaraan. Hal ini diketahui dari empat prasasti berusia berdekatan yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu. Pada saat itu bahasa Melayu yang digunakan bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan di kepulauan ini (Nusantara), para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa Melayu, walaupun secara kurang sempurna. Hal ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal, yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti. Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berangka tahun 900 Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya. Kajian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang berdekatan. Sayang sekali, bahasa Melayu Kuna tidak meninggalkan catatan dalam bentuk kesusasteraan meskipun laporan-laporan dari Tiongkok menyatakan bahwa Sriwijaya memiliki perguruan agama Buddha yang bermutu. Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Alfred Russel Wallace menuliskan di Malay Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda." Selanjutnya, Jan Huyghen van Linschoten, di dalam buku Itinerario ("Perjalanan") karyanya, menuliskan bahwa "Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh." Kongres Bahasa Indonesia pertama telah menetapkan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau, begitu pula dengan negara serumpun lain seperti Malaysia mengakui bahwa bahasa Melayu standar adalah bahasa Melayu Riau-Johor.
»»  Baca Selengkapnya...

Belajar Bahasa Indonesia itu Menyenangkan

Sejak kita duduk di sekolah dasar, pastilah kita sudah mengenal pelajaran bahasa Indonesia. Bahasa yang menjadi bahasa nasional kita ini memang diwajibkan dipelajari sejak dari sekolah dasar dan terus menerus dipelajari pada tingkatan sekolah berikutnya. Pelajaran bahasa Indonesia tentu sudah tidak asing bagi kita. Di dalamnya dibahas segala macam seluk beluk bahasa Indonesia, mulai dari mengenal alfabet, kata, frase, kalimat, sampai kalimat yang rumit dan bermacam-macam. Bahasa Indonesia sebaiknya ditanamkan sejak dini. Hal tersebut dimulai dalam keluarga terlebih dahulu. Dengan memberikan pembelajaran, penanaman, pelatihan dan pembimbingan sejak anak masih kecil, diharapkan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang dapat dijiwai oleh anak-anak sampai mereka dewasa kelak. Pelajaran Bahasa Indonesia di SD Di sekolah dasar, mata pelajaran ini telah diberikan oleh guru bidang studi yang bersangkutan. Bahkan, tidak jarang juga guru bidang studi lainnya memberikan pelajaran bahasa Indonesia. Di sekolah dasar yang merupakan pendidikan formal, mata pelajaran ini memiliki jumlah jam pelajaran sebanyak 6 jam pelajaran. Banyaknya jumlah jam mata pelajaran ini memang dimaksudkan agar siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan memiliki kemampuan dalam menyampaikan pemikiran dengan baik pula. Dengan kata lain, mereka dapat melakukan komunikasi dengan baik. Mata pelajaran ini memang sangat penting diberikan ketika anak masih belajar di sekolah dasar. Hal tersebut dikarenakan mereka akan mendapatkan banyak pelajaran lain dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Pelajaran bahasa Indonesia sekolah menengah pertama atau SMP merupakan pelajaran lanjutan dan lebih kompleks yang diterima siswa. Selain itu, juga merupakan kelanjutan dari pelajaran bahasa Indonesia yang mereka terima di sekolah dasar. Pelajaran bahasa Indonesia di SMP memiliki peranan yang sangat vital karena siswa di SMP lebih banyak mendapatkan mata pelajaran lainnya yang ditunjang oleh bahasa Indonesia. Mata pelajaran ini tidak lepas dari buku teks pelajaran yang sesuai dengan kurikulum. Semua kelayakan isi dan penyajian sudah merupakan keharusan dalam sebuah buku pelajaran, termasuk mata pelajaran ini. Kurikulum mata pelajaran ini mencakup standar isi dan kompetensi dasar yang memiliki keakuratan dalam pemilihan materi, terutama keakuratan dalam wacana dan pemilihannya. Keakuratan dalam pemilihan wacana atau teks berdasarkan kenyataan sehari-hari yang biasa ditemui oleh siswa. Wacana yang disajikan juga sesuai dengan kehangatan isu atau kejadian yang sedang hangat dibicarakan (aktual). Selain itu, peserta didik dalam hal ini siswa juga harus diberikan pemahaman mengenai isu atau topik yang sedang hangat dibicarakan tersebut. Sumber isu tersebut juga sebaiknya dicantumkan agar kejelasannya lebih akurat. Secara teori, contoh yang diberikan dalam wacana atau teks harus sesuai dengan bidang keilmuannya sehingga tidak banyak menimbulkan banyak makna. Untuk siswa SMP, biasanya wacana yang diberikan sesuai dengan pengembangan kebhinekaan. Wawasan kebhinekaan tersebut dicerminkan oleh hal-hal seperti dalam keanekaragaman budaya dan agama. Contoh-contoh wacana yang diberikan dapat membuat siswa lebih menghargai keanekaragaman suku yang ada di Indonesia. Pelajaran bahasa Indonesia di SMP lebih kompleks dibandingkan dengan di SD. Adanya bermacam-macam wacana atau teks memang disesuaikan dengan tingkat belajar dan berterima oleh siswa SMP. Pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Bahasa Indonesia di SMA hampir memiliki jenis keberagaman jenis wacana yang sama. Berbeda dengan pelajaran bahasa Indonesia di SD, di SMP dan SMP pelajaran ini jauh lebih tinggi dengan tingkat keberagaman wacana yang lebih tinggi. Wacana yang sering ada dalam mata pelajaran ini biasanya bertemakan nasionalisme yang tinggi, kebhinekaan dan bisa dalam bentuk puisi, lagu, bahkan drama. Selain lagu bertemakan patriotisme yang dapat dicantumkan dalam buku mata pelajaran ini, ada juga wacana yang bertemakan lingkungan atau dalam rangka menggagas tema go green. Wacana pada mata pelajaran ini memang lebih beragam dan memiliki banyak macam tema. Selain wacana, pelajaran bahasa Indonesia juga memiliki banyak sekali materi yang cukup signifikan bagi siswa SMA. Sesuai kurikulum, mata pelajaran ini diberikan agar tidak meleset dari tujuan yang sudah diatur dalam kurikulum. Kelayakan isi dan materi juga ditunjang dalam kurikulum pelajaran bahasa Indonesia SMA. Siswa SD, SMP, maupun SMA memperoleh materi yang sesuai dengan jenjang sekolah mereka. Mulai dari bahasa Indonesia paling sederhana dengan tujuan untuk komunikasi, sampai belajar bahasa Indonesia dengan tujuan melengkapi dan menaikkan level pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan tingkat kelas masing-masing. Pelajaran bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang biasanya disukai karena memiliki ragam materi yang lebih cenderung ke arah kegiatan komunikatif dan berkelompok. Bahasa Indonesia memiliki ciri khas yang tidak dapat dilepaskan juga dari kegiatan berkesenian, seperti bermain drama dan berpuisi. Itulah sebabnya mengapa mata pelajaran ini lebih banyak diminati oleh siswa yang memiliki jiwa berbahasa dan seni yang lumayan. Mereka menyukai kegiatan berbahasa, seperti melakoni drama dan seni lainnya. Mata pelajaran ini tidak hanya diberikan di sekolah. Pelajaran ini pun dapat diberikan di rumah dan diberikan oleh orangtua atau saudara siswa yang lebih besar. Tidak harus diberikan secara formal, namun dengan berdiskusi dan bercerita ketika membahas acara televisi pun dapat mengembangkan wawasan berbahasa yang baik. Melalui acara televisi yang edukatif, kegiatan berbahasa dapat dilakukan dengan baik dan lebih menyenangkan. Pelajaran apakah yang paling disukai? Apakah pelajaran bahasa Indonesia lebih menyenangkan? Pelajaran apapun tentunya akan menyenangkan jika kita mulai menyukai dan belajar sesuai dengan cara yang lebih fun dan tidak membosankan.Cara tersebut lebih menantang dibanding dengan hanya membaca dan mendengarkan. Berbahasa lebih dominan bercerita dan melakukan aktivitas yang melibatkan banyak orang, termasuk belajar berkelompok
»»  Baca Selengkapnya...

Jumat, 21 September 2012

Sejarah Kabupaten Lahat, Bumi Seganti Setungguan

Sekitar tahun1830 pada masa kesultanan Palembang di Kabupaten Lahat telah ada marga, marga-marga ini terbentuk dari sumbai-sumbai dan suku-suku yang ada pada waktu itu seperti : Lematang, Pasemahan, Lintang, Gumai, Tebing Tinggi dan Kikim. Marga merupakan pemerintahan bagi sumbai-sumbai dan suku-suku. Marga inilah merupakan cikal bakal adanya Pemerintah di Kabupaten Lahat. Pada masa bangsa Inggris berkuasa di Indonesia, Marga tetap ada dan pada masa penjajahan Belanda sesuai dengan kepentingan Belanda di Indonesia pada waktu itu pemerintahan di Kabupaten Lahat dibagi dalam afdelling (Keresidenan) dan onder afdelling (kewedanan) dari 7 afdelling yang terdapat di Sumatera Selatan, di Kabupaten Lahat terdapat 2 (dua) afdelling yaitu afdelling Tebing Tinggi dengan 5 (lima) daerah onder afdelling dan afdelling Lematang Ulu, Lematang Ilir, Kikim serta Pasemahan dengan 4 onder afdelling. Dengan kata lain pada waktu itu di Kabupaten Lahat terdapat 2 keresidenan. Pada tanggal 20 Mei 1869 afdelling Lematang Ulu, Lematang
Ilir,serta Pasemah beribu kota di Lahat dipimpin oleh PP Ducloux dan posisi marga pada saat itu sebagai bagian dari afdelling. Tanggal 20 Mei akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Lahat sesuai dengan Keputusan Gebernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No. 008/SK/1998 tanggal 6 Januari 1988.
Masuknya tentara Jepang pada tahun 1942, afdelling yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda diubah menjadi sidokan dengan pemimpin orang pribumi yang ditunjuk oleh pemerintah militer Jepang dengan nama Gunco dan Fuku Gunco. Kekalahan Jepang pada tentara sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 dan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka Kabupaten Lahat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948, Kepres No. 141 Tahun 1950, PP Pengganti UU No. 3 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950. Kabupaten Lahat dipimpin oleh R. Sukarta Marta Atmajaya, kemudian diganti oleh Surya Winata dan Amaludin dan dengan PP No. 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dalam Tingkat I provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Lahat resmi sebagai daerah Tingkat II hingga sekarang dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otda, dan dirubah UU No. 32 Tahun 2004 menjadi Kabupaten Lahat.
»»  Baca Selengkapnya...

Senin, 17 September 2012

Kasih Bunda


BUNDA
Oleh Amelia Nur Aini

Tak sanggup rasanya ku lewati hari tanpamu…
Tanpa senyum mu..
Tanpa pelukan mu..
Tanpa kasih mu..

Bunda..
Senyum mu mewarnai hari ku..
Pelukan mu hangatkan diriku..
Kasih mu hiasi hidupku….
Tak pernah ku bayangkan mimpi buruk ku..
Tentang dirimu…

Berharap tak kan terjadi padamu..
Namun semua itu kini telah terjadi..
Kau tinggalkan ku sendiri…
Dengan hati sepi…..

Bunda..
Aku kini rindukan dirimu..
Rindukan senyum mu..
Rindukan pelukan mu..
Rindukan kasih sayang mu…

Bunda…
Tunggu aku di surga…
Ku kan pergi ke tempat kau berada..
Ku kan rela meninggalkan dunia …

Karena….
Setiap nafas mu kebahagiaan bagiku..
Detak jantung mu keabadian bagiku…
Denyut nadi mu kedamaian bagiku…..
Aliran darah mu ketentraman bagiku

Hati ku hanya teruntuk dirimu..
Raga ku hanya teruntuk dirimu..
Jiwa ku hanya teruntuk dirimu…
Bunda…

»»  Baca Selengkapnya...

Pendidikan Berbasis Character Building

     Secara etimologis, kata karakter bisa berarti tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, atau watak (Tim Redaksi Tesaurus, 2008: 229). Orang berkarakter berarti orang yang memiliki watak, kepribadian, budi pekerti, atau akhlak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007: 80).
     Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya ia menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
             Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education).
  Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut, Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51). Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Pendidikan karakter ini membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Pembudayaan karakter (akhlak) mulia perlu dilakukan dan terwujudnya karakter (akhlak) mulia yang merupakan tujuan akhir dari suatu proses pendidikan sangat didambakan oleh setiap lembaga yang menyelenggarakan proses pendidikan. Budaya atau kultur yang ada di lembaga, baik sekolah, kampus, maupun yang lain, berperan penting dalam membangun akhlak mulia di kalangan sivitas akademika dan para karyawannya. Karena itu, lembaga pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendidikan akhlak (pendidikan moral) bagi para peserta didik dan juga membangun kultur akhlak mulia bagi masyarakatnya.
   Untuk merealisasikan akhlak mulia dalam kehidupan setiap orang, maka pembudayaan akhlak mulia menjadi suatu hal yang niscaya. Di sekolah atau lembaga pendidikan, upaya ini dilakukan melalui pemberian mata pelajaran pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan etika, atau pendidikan karakter. Akhir-akhir ini di Indonesia misi ini diemban oleh dua mata pelajaran pokok, yakni Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran ini nampaknya belum dianggap mampu mengantarkan peserta didik memiliki akhlak mulia seperti yang diharapkan, sehingga sejak 2003 melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 dan dipertegas dengan dikeluarkannya PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah menetapkan, setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran mempengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik (PP 19 2005 pasal 6 ayat 4). Pada pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. Hal yang sama juga dilakukan untuk kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian (pasal 7 ayat 2). Kebijakan ini juga terjadi untuk pembelajaran di Perguruan Tinggi. Dua mata kuliah (Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan) yang termasuk mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) diarahkan untuk pembentukan karakter para mahasiswa sehingga melahirkan para sarjana yang berakhlak mulia dan pada akhirnya akan menjadi para pemimpin bangsa yang juga berakhlak mulia.
Pembinaan karakter siswa di sekolah berarti berbagai upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam rangka pembentukan karakter siswa. Istilah yang identik dengan pembinaan adalah pembentukan atau pembangunan. Terkait dengan sekolah, sekarang lagi digalakkan pembentukan kultur sekolah. Salah satu kultur yang dipilih sekolah adalah kultur akhlak mulia. Dari sinilah muncul istilah pembentukan kultur akhlak mulia di sekolah.
               Pengalaman Nabi Muhammad membangun masyarakat Arab hingga menjadi manusia yang berakhlak mulia (masyarakat madani) memakan waktu yang cukup panjang. Pembentukan ini dimulai dari membangun aqidah mereka selama kurang lebih tiga belas tahun, yakni ketika Nabi masih berdomisili di Makkah. Selanjutnya selama kurang lebih sepuluh tahun Nabi melanjutkan pembentukan akhlak mereka dengan mengajarkan syariah (hukum Islam) untuk membekali ibadah dan muamalah mereka sehari-hari. Dengan modal aqidah dan syariah serta didukung dengan keteladanan sikap dan perilaku Nabi, masyarakat madani (yang berakhlak mulia) berhasil dibangun Nabi yang kemudian terus berlanjut pada masa-masa selanjutnya sepeninggal Nabi.
              Michele Borba juga menawarkan pola atau model untuk pembudayaan akhlak mulia. Michele Borba menggunakan istilah membangun kecerdasan moral. Dia menulis sebuah buku dengan judul Building Moral Intelligence: The Seven Essential Vitues That Kids to Do The Right Thing, 2001 (Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi, 2008). Kecerdasan moral, menurut Michele Borba (2008: 4), adalah kemampuan seseorang untuk memahami hal yang benar dan yang salah, yakni memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga ia bersikap benar dan terhormat. adalah sifat-sifat utama yang dapat mengantarkan seseorang menjadi baik hati, berkarakter kuat, dan menjadi warga Negara yang baik.
             Bagaimana cara menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak-anak disimpulkannya menjadi tujuh cara yang harus dilakukan anak untuk menumbuknan kebajikan utama (karakter yang baik), yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun.
Dengan kata lain tujuh kebajikan yang ditawarkan oleh Michele Borba ini berlaku untuk siapa pun dalam rangka membangun kecerdasan moralnya.
             Dalam salah satu bukunya, 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings (1995), Howard Kirschenbaum menguraikan 100 cara untuk bisa meningkatkan nilai dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah yang bisa dikelompokkan ke dalam lima metode, yaitu: 1) inculcating values and morality (penanaman nilai-nilai dan moralitas); 2) modeling values and morality (pemodelan nilai-nilai dan moralitas); 3) facilitating values and morality (memfasilitasi nilai-nilai dan moralitas); 4) skills for value development and moral literacy (ketrampilan untuk pengembangan nilai dan literasi moral; dan 5) developing a values education program (mengembangkan program pendidikan nilai).                  Dari pendapat Kirschenbaum ini maka guru pendidikan agama termasuk para guru yang lain bersama-sama dengan sekolah perlu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pembinaan karakter siswa melalui pemaksimalan peran pendidikan agama. Guru agama bersama-sama guru-guru lain perlu merancang pembelajaran agama di kelas dan di luar kelas yang dapat memfasilitasi siswa agar dapat membiasakan karakter atau akhlak mulia.
          Sementara itu, Darmiyati Zuchdi menekankan pada empat hal dalam rangka penanaman nilai yang bermuara pada terbentuknya karakter (akhlak) mulia, yaitu inkulkasi nilai, keteladanan nilai, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan akademik dan sosial (Zuchdi, 2008: 46-50). Darmiyati menambahkan, untuk ketercapaian program pendidikan nilai atau pembinaan karakter perlu diikuti oleh adanya evaluasi nilai. Evaluasi harus dilakukan secara akurat dengan pengamatan yang relatif lama dan secara terus-menerut (Zuchdi, 2008: 55). Dengan memadukan berbagai metode dan strategi seperti tersebut dalam pembelajaran pendidikan agama di sekolah, maka karakter siswa dapat dibina dan diupayakan sehingga siswa menjadi berkarakter seperti yang diharapkan.
»»  Baca Selengkapnya...

Hubungan antara Bahasa Indonesia dan Etika

kampanyekan cinta berbahasa Indonesia

Bahasa Dan Sastra Sebagai Cermin Moral Dan Etika
Bahasa Indonesia telah diakui sebagai bahasa persatuan sejak jaman dulu, tepatnya ketika dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia telah melewati masa-masa dimana banyak sekali peristiwa sejarah yang merupakan fase perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, memerangi pemberontakan-pemberontakan, jaman orde baru, hingga sekarang. Seiring dengan adanya perubahan-perubahan kondisi tersebut, Bahasa Indonesia pun mengalami beberapa perubahan, baik dalam cara penulisan, pengucapan, penambahan dan pengurangan kosakata, perbaikan ejaan, dan lainnya, semua itu bertujuan untuk memperbaiki dan mengembangkan penggunaan Bahasa Indonesia agar lebih baik. Sampai sekarang Bahasa Indonesia tetap indah untuk diucapkan, tetap indah didengar, tetap indah dibaca, tentu hal tersebut akan menjadi kenyataan kalau Bahasa Indonesia diucapkan dan ditulis dengan baik dan beretika.
Sastra Indonesia, yang merupakan karya hasil ungkapan perasaan, pikiran, emosi, yang dituangkan dengan bahasa baik lisan maupun tulisan juga mengalami banyak perkembangan, kita harus bangga karena hasil karya sastra bangsa Indonesia memiliki kualitas yang baik. Karya sastra menjadi tempat curahan hati, dimana bahasa yang ditumpahkan merupakan hasil penerjemahan dariekspresi hati dan jiwa, pemikiran, kehendak dan lain-lain. Karena hal tersebut berhubungan erat dengan seni, budaya, dan keindahan, maka karya sastra memiliki nilai dan arti tersendiri. Sastra Indonesia harus dipertahankan kualitasnya sampai akhir hayat, karena dalam suatu karya sastra terdapat nilai-nilai emosi yang positif yang dapat memberikan makna petuah, nasehat, contoh, amanat, yang dapat memberikan pengaruh yang bermakna.
Untuk itu, Bahasa dan Sastra Indonesia harus tetap digunakan pada rel yang benar, agar perilaku generasi bangsa tidak semakin memburuk di masa depan. Hal ini penting, sebab bahasa merupakan sesuatu yang digunakan sehari-hari, apabila bahasa yang digunakan buruk, maka dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan perilaku buruk yang akan mempengaruhi kepada psikologi pribadi dan tata nilai di masyarakat. Jangan menganggap remeh bahasa yang digunakan sehari-hari, apakah itu Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah, yang jelas norma-norma dan kaidah-kaidah berbahasa sangat kuat pengaruhnya bagi diri pribadi dan bagi orang lain. Sudah pasti Bahasa Indonesia yang berlaku saat ini merupakan bahasa yang baik, di dalamnya terdapat amanat agar bangsa kita menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan bijaksana, dengan sopan dan beretika, hanya orangnya saja yang menggunakan Bahasa Indonesia terkadang tidak beretika, misalnya dengan berkata kasar, mencaci-maki, mencela, berbicara jorok, dan lain-lain.
Kenyataan yang terjadi sekarang, bahasa dan sastra kita digunakan secara tidak benar oleh orang-orang tertentu. Orang yang berbicara kasar akan memberi pengaruh negatif kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain yang melihat dan mendengarnya. Akibatnya bisa fatal, apakah itu akan terjadi perkelahian, kerusuhan, pertikaian, bahkan pembunuhan. Inilah hebatnya bahasa, memiliki pengaruh yang sangat kuat. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa berkaitan erat dengan moral dan etika, untuk itu wajib bagi semua orang menggunakan bahasa yang baik di lingkungan masyarakat. Dengan menggunakan bahasa yang baik dan beretika, orang lain akan melihat kita baik juga, akan berpikir dan menganggap bahwa diri kita merupakan orang yang baik dan patut dihormati. Sebaliknya apabila kita menggunakan bahasa dengan salah, bahkan dengan kasar, orang lain pasti akan menganggap kita orang yang tidak baik dan sebagai balasannya kita tidak layak dihormati, bahkan ekstrimnya bisa dikira kita orang gila yang tidak beradab. Di kalangan remaja sering terjadi kesalahan dalam berbahasa, yaitu dengan menggunakan kata-kata baru yang menurut mereka sedang musimnya berbicara atau menulis dengan kata-kata baru tersebut, dulu sekitar 20 tahun yang lalu remaja sering membolak-balik kata saat berbicara atau menulis, kemudian berganti lagi dengan yang baru, yang dirintis oleh artis Debby Sahertian dengan kata “gaul” nya, saat ini muncul lagi gaya bahasa yang sangat aneh, apalagi dalam cara penulisannya. Walaupun gaya bahasa dari tiap generasi berbeda-beda datang dan pergi silih berganti, namun Bahasa dan Sastra Indonesia yang baku tetap ada, tidak hilang.
Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan sesamanya. Bahasa menjadi alat utama dalam menjaga dan membina hubungan dengan sesama, bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting. Membina hubungan dengan relasi bisnis dibutuhkan keterampilan berbahasa yang baik, makna dasarnya adalah harus selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar, tidak berkonotasi negatif. Dengan itu saja dapat diyakini rekan bisnis akan semakin mempererat hubungan bisnis dengan kita, tentu saja hal tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak. Berbeda kalau misalnya kita tidak pandai menggunakan Bahasa Indonesia yang baik ketika melakukan komunikasi bisnis dengan relasi, hal tersebut akan membuat bisnis kita terganggu, yang akhirnya bisa merugikan perusahaan. Intinya adalah gunakanlah bahasa dengan baik, dengan beretika, karena bahasa merupakan cermin moral dan etika.
Dalam karya sastra, Bahasa Indonesia memiliki peran sebagai ujung tombak. Karya sastra yang tidak beretika dipastikan akan dikritik negatif oleh rakyat dan dilarang oleh pemerintah. Sastra Indonesia memiliki nilai sejarah yang tinggi, sejak Angkatan Pujangga Baru sampai sekarang, karya sastra kita memiliki kualitas tersendiri, dan hal itu harus dihargai dengan cara meneruskan perjuangan mereka dalam berkarya dengan menggunakan bahasa, seni yang bermoral dan beretika.

Siapa sebernarnya yang berkewajiban Mengkampanyekan Penggunaan Bahasa Indonesia Yang baik dan benar itu?

Memang ada yang namanya lembaga Pusat Bahasa atau Balai Bahasa, atau apa lah yang urusannya setiap hari berkutat dengan bahasa Indonesia secara teknis. Namun urusan kampanye sebaiknya juga bukan mereka. Yang punya kewajiban bertugas menularkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik & benar adalah para pejabat publik dan tokoh masyarakat.
Pernyataan mereka didengar banyak orang. mereka punya pengaruh di masyarakat luas. Bagaimana seharusnya mereka mengkampanyekan ini? Tidak perlu susah-susah seperti kampanye pemilu, cukup mereka setiap hari memberi contoh yang baik dalam berbahasa, jangan terlalu sering memakai bahasa asing, apalagi jika berbicara di depan pers atau publik.

Bagaimana komentar Anda tentang bahasa Al4y?

Jujur, saya tidak tahu apa itu bahasa Al4y. Saya juga sudah tahu isunya, tapi belum tertarik untuk ‘mempelajarinya’ lebih lanjut. Tapi pada dasarnya semua bahasa baru yg muncul tidak serta-merta dianggap “melanggar” etika berbahasa, malah justru bisa makin memperkaya bahasa Indonesia. Contohnya bahasa prokem ‘nyokap’ & ‘bokap’ yang saat ini sudah seperti bahasa sehari-hari yg biasa digunakan di masyarakat perkotaan, sehingga boleh dibilang sudah menjadi bahasa Indonesia secara tidak resmi. ( Eyang Ageng Sastranegara ).
Sumber :

»»  Baca Selengkapnya...